Rabu, 27 Maret 2013

DESIGN PIT UNTUK TAMBANG BATUBARA DENGAN METODE MAGNET


Di daerah dengan formasi yang didominasi batuan vulkanik dan batuan beku lainya, sulit untuk menentukan posisi batubara dan kemenerusanya,karena selain struktur yang komplek juga sering kali ada intrusi yang mengakibatkan sebaran batubara terputus. Kondisi ini susah di jelaskan jika hanya mempunyai data bor atau data singkapan dipermukaan.

Metode magnet sangat membantu untuk identifikasi sebaran batuan beku tersebut,selain identifikasi sebaran sediment karena 80% lebih batubara di daerah dengan formasi batuan yang didominasi batuan beku batubara ada didaerah sedimentnya, tetapi terkadang ada di antara lava dan terjepit antara batuan beku tersebut. Batubara yang terhimpit atau dekat dengan batuan beku tersebut umumnya mempunyai kalori yang tinggi di bandingkan dengan batubara di daerah sediment, ini berkorelasi dengan suhu yang diakibatkan oleh batuan beku.
gambar 1 anomaly magnet
gambar 2 slicing horizontal DTU 10

gambar 2 slicing horizontal DTU 50



gambar 2 slicing horizontal DTU 100


(Continued)




Selasa, 26 Maret 2013

KOREKSI INKLINASI DAN DEKLINASI DATA MAGNET

Nilai inklinasi dan deklinasi medan magnet sangat penting dalam pengolahan data magnet, karena ketika kita salah memasukan nilai tersebut maka hasilnya akan tidak sesuai dengan medan magnet dari objek yang menjadi target. Nilai inklinasi dan deklinasi dibutuhkan di beberapa inputan filter seperti reduksi ke kutub, reduksi ke atas dan filter lainya.


gambar 1 intensitas magnet total 

gambar 2 intensitas magnet total

Di bawah diberikan contoh data reduksi ke kutub dengan nilai inklinasi dan deklinasi yang tidak sesuai dengan medan magnet regional. Ada sebagian orang yang menggunakan nilai inklinasi dan deklinasi dari data survey, ini mengakibatkan tahapan proses magnet akan menghasilkan data outputan yang tidak sesuai dengan  outputan yg benar.


gambar 3 Mereduksi data ke kutub dengan nilai inklinasi dan deklinasi yang salah

gambar  4 Mereduksi data ke kutub dengan nilai inklinasi dan deklinasi yang benar

Dari data diatas, sangat berbeda hasilnya baik dari nilai rendah data magnetiknya maupun nilai yang tinggi. Ini akan mengakibatkan proses inversi dan perhitungan cadangan sumber daya akan sangat jauh berbeda.

gambar 5 Mereduksi data ke kutub dengan nilai inklinasi dan deklinasi yang salah


gambar 6 Mereduksi data ke kutub dengan nilai inklinasi dan deklinasi yang benar

Senin, 25 Maret 2013

EKSPLORASI BATUBARA DENGAN METODE GEOLISTRIK(CS)


Pengukuran geolistrik secara lateral mapping (2D) telah dilakukan pada lokasi test case batubara di lokasi xx, sebanyak 2 lintasan, dengan panjang masing-masing lintasan 1 km. Pengukuran geolisrik pada lintasan (@ 1 km) dilakukan sebanyak 3 kali pengukuran (@400m).. Agar panjang lintasan 1 km tercover semua, maka dilakukan pengukuran overlap setiap 100m. 

Estimasi nilai resistivity batuan didaerah penelitian ditentukan dengan cara mengkorelasikan data bor dengan penampang resistivity hasil pengukuran geolistrik. Nilai resistivity batubara hasil korelasi data bor dengan penampang resistivity, ditunjukkan pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Nilai resistivity batubara di daerah penelitian Argamakmur
Lintasan
Jarak pada lintasan (m)
Bor ID
Ketebalan batubara (m)
Kedalaman batubara dari data bor (m)
Kedalaman batubara dari penampang resistivity (m)
resistivity (Ohm.m)
L1
400
600xx2
1.05
48.5
56
 176
640
600xx0
1.1
12.3
14.5
 176
L2
80
60xx40
0.94
45.94
43.9
 366

Nilai resistivity batuan lainnya hasil korelasi data bor, ditunjukkan pada tabel 3.2.
     Tabel 1  Nilai resistivity batuan di daerah penelitian xx
No
Litologi
Resistivity (Ohm.m)
1
Coal
176 – 366
2
Andesite
1450 - 11000
3
Sandstone
400 – 1400
4
Mudstone
1 – 160

Nilai resistivity pada table 1 selanjutnya digunakan sebagai referensi untuk memprediksi keberadaan lapisan batubara.

Berdasarkan data referensi nilai resistivity batubara (tabel 1), maka indikasi batubara pada lintasan 1 terdapat pada kedalaman 14,5m (jarak pada lintasan 640m) dan kedalaman 56m (jarak pada penampang 400m), dengan nilai resistivity + 176 Ohm.m. Ketebalan batubara yang terdeteksi dari pengukuran ini sekitar + 1m, sedangkan ketebalan batubara kurang dari 1m tidak terdeteksi. Hal ini bisa diakibatkan beberapa faktor, diantaranya :
·         Karena lapisan batubaranya tipis < 1m, maka pengaruh nilai resistivity clay / mudstone lebih dominan dibandingkan batubara, sehingga nilai resistivity yang terukur lebih mendekati nilai resisitivity clay / mudstone.
·         Resolusi data masih kurang tinggi, dalam pengukuran ini menggunakan 41 elektroda dengan jumlah data per pengukuran sekitar 550 data, dalam pengukuran geolistrik resolusi tersebut sudah termasuk resolusi tinggi dibandingkan dengan pengukuran Dipole-Dipole 2D yang konvensional (170 data).
Penampang resistivity lintasan 1 ditunjukkan pada gambar 3.1. Selain batubara pada penampang tersebut terdeteksi juga litologi lainnya,: andesite, sandstone dan mudstone (pada gambar 3.1 ditunjukkan dengan tanda panah). Selain litologi, pada penampang lintasan 1 ditemukan indikasi struktur (patahan), yaitu pada bagian tengah penampang.


                                Patok Elektroda
X (m)
Y  (m)
Arah Lintasan
                           L1-33
196xxx50.8  
96xxx036
Baratdaya
                             L1-101
196xxx43.1
96xx883
Timurlaut





gambar 1 Penampang Resistivity Lintasan 1

 Patok Elektroda
X (m)
Y  (m) 
Arah Lintasan
L1-33
196xxx.8
961xxxx
Baratdaya
L1-101
196xxx.1
961xxxx
Timurlaut




gambar 2 Penampang Resistivity Lintasan 2

Berdasarkan data referensi nilai resistivity batubara (tabel 1), maka indikasi batubara pada lintasan 2 terdapat pada kedalaman 43,9m, pada jarak lintasan pengukuran 80m, dengan nilai resistivity 366m. Indikasi batubara pada gambar 2 ditunjukkan dengan tanda panah. Pada lintasan 2 didominasi oleh mudstone dan sandstone, sedangkan beberapa bolder (andesite) ditemukan dekat ke permukaan seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.



GRAVITY SURVEY FOR BASEMENT CONFIGURATION


figure 1 Bouguer Anomaly

Gravity observations at the earth’s surface includes anomalies that result from the density of subsurface structures.  A small body will cause an anomaly with a short wavelength while a large body will cause an anomaly with a longer wavelength.  Similarly deeper structures will generate longer wavelength anomalies than shallower structures.  In order to isolate these changes, a wavelength filter and spectral analysis were designed around the specified areas of interest.  These tools assisted in highlighting the geological structures to be analyzed.

Filtering is a way of separating signals of different wavelengths to isolate and hence enhance anomalous features within a given bandwidth.  A good rule-of-thumbs is that the wavelength of an anomaly divided by three or four is approximately equal to the depth at which body producing the anomaly is located. Using this filtering technique can it is possible to enhance anomalies produced by features in a given depth range.  This filtering technique is sometimes referred to as Regional-Residual Separation.


In order to extract meaningful information from the gravity data we applied an optimum Wiener filter using Geosoft® program (Geosoft Inc., 1994).  The purpose of this filter is to reduce the effect of anomalous source up to a certain depth leaving a smoother anomaly associated with deeper sources.  The results of the Wiener filter which rejects source up to 250, 500, 750 and 1000 meters depth are presented in Figure 16, 17, 18 and 19 respectively.
figure 2 Regional Anomaly1


figure 3 Residual Anomaly 1

The quantity to be determined in gravity exploration is local lateral variation in density.  Generally density is not measured in situ, although it can be measured by borehole logging tools or estimated from seismic velocities.  More often density measurements are made in the laboratory using small outcrop or drill-hole samples.  Laboratory results, however, rarely give the true bulk density because the samples may be weathered, fragmented, dehydrated, or altered in the process of being collected.  Consequently, for field specific situations, density measurements are seldom carried out.

A reasonably satisfactory method of estimating near-surface density uses a gravity profile over topography that is not co relatable with density variation (Nettleton, 1976).

Density values are applied to gravity measurements while reducing these measurements to create Bouguer Anomaly profiles.  In addition the effects of the variation of the terrain around the measurement site have to be corrected for.  The effect of the terrain correction on the gravity data is a function of the density.

A set of profiles of Bouguer Anomaly values using different density values can be generated.  Typically the profile that is least affected by the terrain is the one with the best density match.



figure 4 Nettleton Method

A more quantitative method than the graphic method used during the Nettleton density derivation, described above, is the Parasnis method.  The Parasnis method uses a mathematical least-square algorithm to determine the density value that best fits the test data set.


Linear regression (least squares) method

  • Assumes no correlation between topography and subsurface density (i.e., anomalies are randomly distributed with respect to elevation)
  • Therefore correlation between topography and gravity (g) will be due to Bouguer slab
  • Plot Free Air Anomaly (Dg fa) against elevation (h)
  • Fit line through points


slope will approximate 2pGr; solve for r (Bouguer density)



figure 5 Regional Anomaly2

figure  6 Residual Anomaly 2

As an additional processing, we also tried a preliminary inversion of the gravity data to obtain an insight into 3-D density distribution of the area.  The inversion technique is a modified version of 3-D magnetic inversion presented by Yudistira and Grandis (2001) which follows a technique proposed by Fedi and Rapolla (1999).  A model-smoothing factor was used in the resolution of the matrix inversion by truncated singular value decomposition (SVD) method (Press et al., 1987). 

The band-pass filtered gravity data (with wavelength of 2 – 10 km) were re-sampled into a 500 ´ 500 meters grid spacing.  The subsurface is represented by a grid of rectangular prism with 500 ´ 500 ´ 100 meter in dimension which covers the whole survey area up to 3000 meters depth.  This under-sampling of the data and model was necessary to reduce the computation time of the 3-D inversion.  Therefore, we prefer looking for rather large scale feature by inverting the gravity data filtered for 2 – 10 km wavelength.

The inversion was performed without any “a priori” constrain and the obtained model of density distribution (or contrast density relative to 2.0 gram/cm3) at three depth slices (500, 1000 and 2500 meters) is presented in Figure 23.  These figures of the model are given without scale or coordinate for simplicity, but they cover the whole survey area as other figures or maps. 


The models from 500, 1000 and 2500 meters depth slices represent superficial, intermediate and deep density distribution respectively.  We can observe that the model is merely another type of representation of the gravity data, i.e. 1000 meters depth slice is nearly identical to 1 – 5 km band-pass filtered gravity data while 2500 meters depth slice reproduces 2 – 10 km band-pass filtered gravity data.  Inversions of other filtered gravity data gave similar results, i.e. the model tends to mimic the data such that they are related each other by a simple transformation.  This fact is mainly due to the lack of constrain in the inversion procedure such that the inversion only reproduces the data with no or little additional information.






figure 7 Modeling line seismic for gravity modeling support

figure 8 Initial model for 3D Model


 
figure 9  3D Inversion result, depth structure

figure 10 3D inversion result


figure 11 surface data with subsurface data(geology model)(1)

figure 12 surface data with subsurface data(geology model)(2)



Sabtu, 23 Maret 2013

MEMPREDIKSI KETEBALAN DENGAN MEREDUKSI DATA MAGNET


gambar 1 data lidar

Data elevasi baik itu dari gps, total station, lidar ataupun data satelit sangat membantu interpretasi data magnetik terutama dalam hal sebaran dan histori dari endapan batuan. Di daerah dengan batuan vulkanik membantu peninjauan awal apakah daerah tersebut merupak daerah intrusi ataukah aliran lava dimasa purbanya(didukung data geologi), maka data magnet akan berkorelasi selaras dengan data lapangan jika pengolahan data dan pengambilan data sesuai prosedur.

gambar 2 data anomaly magnetik

Hasil data anomaly magnet merupakan data gabungan dari anomaly-anomaly di bawah permukaan bumi sehingga dibutuhkan pemisahan atau filter untuk membantu memisahkan antara noise dan anomaly bawah permuakaan, dalam hal ini data yang dilakukan reduksi keatas untuk melihat berapa dalam sebaran vertikal batuan andesit atau batuan beku lainya.



gambar 3 reduksi ke atas (Distance to Upward 50)

Nilai biru dan merah pada tampilan data merupakan gradasi dari nilai-nilai yang dihasilkan dari pengukuran lapangan dan merupakan hasil griding. Dalam hal ini warna biru berasosiasi dengan sedimen tapi bukan berarti tidak ada nilai kemagnetanya melainkan warna biru merupakan daerah sedimen yang mendominasi daerah tersebut, sedangkan untuk warna merah merupakan daerah batuan beku(andesit). 


gambar 4 reduksi ke atas (Distance to Upward 100)

gambar 5 zonasi data reduksi 

gambar 6 3D View data reduksi





IDENTIFIKASI BATUBARA DENGAN METODE GPR(2)

Eksplorasi batubara sering kali menghadapi kendala ketika daerah survey tidak mempunya data tambahan(geologi) seperti outcrop,data bor,data logging sehingga dibutuhkan metode lain yang bisa membantu tahapan eksplorasi batubara tersebut. Untuk pengeboran sendiri dibilang tidak mudah dalam hal perijinan terutama dengan warga sekitar karena selain ada kekhwatiran dari lahan yang akan dilakukan pengeboran juga banyak warga yang berfikir tentang pemanfaatan sumberdaya yang ada. Data logging akan sangat bergantung pada data pengeboran karena prinsipnya harus melalui lubang bor.

Ada beberapa metode geofisika yang bisa membantu eksplorasi batubara ketika eksplorasi pengeboran tidak bisa dilakukan, seperti geolistrik, IP, georadar, seismik yang membantu secara vertikal dan metode magnetik yang membantu secara lateral, tetapi tidak semua metode berkorelasi baik antara hasil pengukuran dengan nilai propertis dari batubara tersebut. 
Georadar sendiri bisa membantu identifikasi batubara dengan beberapa pendekatan, seperti spectrum, kekuatan reflektor berupa amplitudonya, dan pola amplitudonya. Kalibrasi data di tempat yang akan dilakukan pengukuran sangat membantu begitu juga interpretasi yang akan kita lakukan.

gambar 1 data GPR 1 

gambar 2 analisa spectrum dari data statik di titik pengukuran

gambar 3 data GPR 2

gambar 4 analisa spectrum dari data statik di titik pengukuran

gambar 5 analisa spectrum dan model geologi

EKSPLORASI MANGAN MENGGUNAKAN METODE MAGNET

gambar 1 daerah survey

gambar 2 singkapan mangan (1)

gambar 3 singkapan mangan (2)

gambar 4 titik pengukuran survey magnetik overlay dengan data satelit

gambar 5 elevasi dari GPS 

gambar 6 pengambilan data magnetik

gambar 7 anomaly magnetik

gambar 8 peta intensitas magnetik total

gambar 9 model 3D data magnetik(1)
gambar 9 model 3D data magnetik(2)





EKSPLORASI BIJI BESI DENGAN METODE MAGNET

Bijih besi terutama yang kaya akan mineral magnetit akan mudah terdeteksi dengan metode geomagnet pada kegiatan eksplorasi. Studi in mengunakan data hasil kegiatan eksplorasi di daerah Sumatera Barat yang memiliki keterdapatan bijih besi yang kaya akan mineral magnetite bersifat magnetik pada batuan host granit. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengaplikasikan pemodelan 3D data geomagnetik sehingga dapat menggambarkan bentuk 3D anomali magnet yang diperkirakan sebagai akumulasi bijih besi.

Pengambilan data geomagnet dilakukan setiap 5 m pada 63 jalur pengukuran. Alat yang digunakan terdiri dari 3 unit proton magnetometer dimana 1 unit digunakan pada base station serta 2 unit digunakan dalam pengambilan data. pengukuran dengan spasi line dan spasi titik di atas merupakan pengukuran detail, ini diperlukan karena eksplorasi yang dilakukan berupa biji besi yang mempunyai dimensi yang relatif kecil dan biasanya berbentuk spot-spot dalam penyebaranya(pengamatan permukaan), tetapi untuk bawah permukaan bisa saja body yang ada merupakan dimensi yang besar, survey geologi sangat penting untuk menentukan survey lanjutan dan design surveynya.

gambar 1 liantasan survey magnetik

Secara umum pengolahan data geomagnetic yang dilakukan adalah untuk mendapatkan harga Intensitas Total Magnet dalam bentuk peta sebaran. Sebelum didapatkan harga intensitas total magnet tersebut koreksi diurnal dilakukan dari data geomagnetic yang diukur pada sepanjang jalur lintasan dan base stasion (Gambar 1). Harga anomali magnetik di-plot pada posisi titik pengamatan dan dibuat kontur, yaitu garis-garis yang menghubungkan titik-titik daengan harga anomali magnetik yang sama.  Peta kontur anomali magnetik pada umumnya diberi kode warna sesuai dengan harga anomali magnetik dan diberi efek pencahayaan sehingga menimbulkan efek relief (colour shaded relief).  Hal tersebut dimaksudkan untuk memperjelas dan mempermudah interpretasi kualitatif.

Sifat dwi-kutub dari fenomena geomagnetik menyebabkan anomali magnetik umumnya membentuk pasangan anomali positif dan negatif dalam arah Utara – Selatan (Milsom, 2003).  Proses reduksi ke ekuator (reduced to equator) dan reduksi ke kutub (reduced to pole) bertujuan untuk mensimulasikan kondisi di mana medan magnet yang menginduksi batuan memiliki arah horizontal. Melalui proses reduksi tersebut diharapkan anomali tidak lagi bersifat dwi-kutub dimana efek batuan yang termagnetisasi digambarkan sebagai anomali negatif atau rendah pada posisi yang tepat di atas penyebab anomali tersebut.  Gambar 2 memberikan ilustrasi konsep reduksi ke ekuator dan juga reduksi ke kutub dari suatu anomali magnetik yang disebabkan oleh benda anomali berupa prisma yang terletak pada daerah dengan inklinasi -20o.  Hasil proses reduksi ke kutub sering dianggap lebih intuitif karena formasi batuan yang memiliki sifat kemagnetan tinggi menghasilkan anomali positif yang tepat berada pada posisi formasi batuan tersebut.  Berdasarkan hal tersebut posisi sumber penyebab anomali dapat diperkirakan secara kualitatif berdasarkan peta anomali magnetik yang telah direduksi ke kutub.
gambar 2 Efek RTP dan RTE ketika di reduksi

Dari hasil proses filter reduksi ke kutub tersebut selanjutnya dilakukan  teknik transformasi data atau anomali magnetik kontinuasi ke atas (upward continuation).  Hasil transformasi tersebut diperoleh data pengamatan baru seolah-olah pengukuran dilakukan pada elevasi yang lebih tinggi dari pengamatan yang sebenarnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi efek sumber penyebab anomali yang terletak di dekat permukaan.  Pengamatan yang  terlalu dekat dengan sumber penyebab anomali menimbulkan data dengan amplitudo dan frekuensi spasial yang tinggi sehingga mengaburkan gambaran global atau pola umum dari data. 

Dari masing-masing elevasi yang didapatkan dari transformasi ke atas maka didapatkan serangkaian data yang dapat dikembang kan menjadi model 3D anomali magnetik.

gambar 3 sebaran keterdapatan biji besi

Berdasarkan pengamatan lapangan bijih besi hadir sebagai urat yang diisi oleh mineral magnetite, hematite dan bersifat magnetik kuat serta di lokasi kunci magnetit bersifat massif tersebar didaerah puncak. Mineralisasi tersebut hadir pada batuan granit. Dari sebaran singkapan bijih besi didapatkan 4 zonasi utama keterdapatan bijih besi (Gambar. 3).  Hasil pengukuran magnetik di daerah penelitian ditunjukan oleh peta intensitas magnetik total (Gambar 4).


gambar 4 peta intensitas magnetik total

Sintesa interpretasi kualitatif ditampilkan pada peta anomali magnetik hasil reduksi ke kutub (Gambar 5).  Dari anomaly megnetik tinggi yang ada dapat didelineasi 5 zonasi anomali yaitu zona 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.  Anomali magnetik tinggi tersebut dapat dianggap sebagai anomali utama  atau anomali primer sedangkan anomali magnetik tinggi lainnya dapat dianggap sebagai anomali sekunder (anomali dengan ukuran lebih kecil).


gambar 5 peta RTP

Dari hasil penggabungan zonasi berdasarkan ketedapatan singkapan bijih besi dan zonasi anomali magnet, terdapat 2 zona anomali magnet yang sedikit memiliki keterdapatan singkapan yaitu zona 4 dan 6. 2 zonasi utama yang berkorelasi dengan keterdapatan singkapan utama yaitu zona 1 dan 2 (Gambar 6). Data anomali magnetik tereduksi ke kutub yang di transformasi secara upward continuation (menerus keatas) sampai kedalaman 100 m menunjukan bahwa zonasi 1 dan 2 memiliki anomali yang menerus sampai 100 m, sementara zonasi yang lain kurang menerus.



gambar 6 peta RTP overlay dengan data permuakaan

Hasil pemodelan 3D dari data geomagnet terutama pemodelan 3D anomali magnetik tereduksi ke kutub menunjukan bahwa terdapat 6 tubuh anomali magnetik yang berkorelasi dengan keterdapatan bijih besi magnetit di permukaan. Secara umum hasil pemodelan 3-D anomali magnetik menunjukan kemenerusan di bawah permukaan sampai kedalaman 100 m dari permukaan. Akan tetapi zona anomali tersebut memperlihat bentuk yang mengecil ke kedalaman. Dari keenam anomaly magnetik yang ada 2 tubuh anomali menunjukan kemenerusan yang stabil sampai kedalaman 100 m yaitu pada adalah zona 1 dan zona 2.

Dari hasil study ini, dimensi dari suatu tubuh bijih besi dapat di perkirakan melalui pemodelan data dan peta anomali magnetik yang tereduksi ke kutub. Perubahan secara vertikal dari transformasi upward continuation dapat digunakan untuk mendelineasi bentuk tubuh secara 3 dimensi. Hasil pemodelan ini dapat digunakan untuk mengetahui perkiraan sumberdaya bijih yang di konversikan dari volume benda anomali magnetik dengan data kualitas. Selain itu, pemodelan ini dapat digunakan sebagai dasar dalam kegiatan eksplorasi yang lebih detil, terutama pembuktian potensi melalui pemboran.

gambar 7 pembuatan solid model dari data magnetik yang tereduksi ke atas

gambar 8 contoh pemodelan susceptibility 3D